Zora menatap langit malam dari balkon kecil kamar kosnya. Udara dingin menyelinap melalui celah pintu, seakan ingin menyentuh hatinya yang sudah membeku. Dia ingat saat kecil, ketika ibunya sering bercerita tentang ayah. Katanya, ayah bekerja keras di luar kota untuk menghidupi mereka. Setiap malam, Zora kecil memandang langit, berharap bisa melihat bintang yang bersinar terang, membayangkan ayahnya ada di suatu tempat di bawah langit yang sama. Namun, bertahun-tahun berlalu, ayah tak pernah pulang.
Zora sekarang sudah dewasa, menjadi mahasiswi semester empat di sebuah universitas yang cukup ternama. Namun, bayangan tentang ayah yang meninggalkannya tak pernah hilang. Sejak kecil, ibunya yang bekerja siang malam sebagai penjahit untuk mencukupi kebutuhan mereka. Setiap kali Zora bertanya tentang ayah, ibunya selalu menunduk dan berkata, “Ayahmu punya alasan sendiri, Nak.” Namun alasan itu tidak pernah cukup untuk mengisi kekosongan dalam hidup Zora.
Ketika Zora memasuki dunia perkuliahan, tekanan ekonomi semakin terasa. Biaya kuliah yang tinggi dan kebutuhan hidup memaksanya bekerja paruh waktu sebagai pelayan kafe untuk membantu ibunya. Melihat teman-temannya mendapatkan dukungan finansial dari orang tua mereka, Zora merasa sakit hati dan terus bertanya-tanya mengapa ayahnya tidak pernah memberikan nafkah, bukankah itu adalah kewajiban seorang ayah?
Suatu malam, setelah pulang bekerja, Zora memutuskan untuk menanyakan tentang masalah yang selama ini mengganjal di hatinya. Mereka duduk di ruang tamu kecil di rumah kontrakan, hanya ditemani oleh lampu redup.
“Ibu,” Zora memulai, suaranya bergetar. “Mengapa Ayah tidak pernah mengirimkan uang? Aku tidak paham mengapa dia bisa meninggalkan kita seperti ini.”
Ibunya terdiam, menundukkan kepala seperti biasanya. “Zora, kadang ada hal yang sulit dijelaskan…”
Zora tak bisa menahan diri lagi. “Tapi, Bu! Ini bukan soal penjelasan! Aku hanya ingin tahu mengapa Ayah tidak pernah peduli. Aku berhak tahu!”
Ibunya menghela napas panjang. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berbicara. “Ayahmu… dia pergi ketika kamu masih kecil entah apa alasannya. Dia tidak pernah kembali dan tidak pernah mengirimkan nafkah. Ibu sudah mencoba menghubungi dia, tapi tidak pernah ada jawaban. Ibu… hanya bisa bertahan, demi kamu.”
Air mata mulai mengalir di pipi Zora. “Jadi dia benar-benar meninggalkan kita tanpa peduli?”
Ibunya mengangguk pelan. “Maafkan Ibu, Zora. Ibu tahu ini tidak adil untukmu. Tapi Ibu tidak ingin kamu tumbuh dengan kebencian. Ibu hanya ingin kamu kuat, seperti yang selama ini kamu lakukan.”
Malam itu, Zora menangis, melepaskan beban yang selama ini dipendam. Namun, di tengah kesedihannya, muncul tekad baru. Meskipun ayahnya gagal menafkahinya, Zora berjanji tak akan membiarkan masa lalu menghancurkan masa depannya. Ia sadar haknya sebagai anak tetap harus diperjuangkan, dan kegagalan ayahnya tak akan menentukan hidupnya.
Esok harinya, Zora pergi ke kampus dengan semangat baru. Di sela-sela kesibukan kuliah dan pekerjaan, dia mulai aktif di organisasi yang memperjuangkan hak anak dan perempuan. Dia mendapati bahwa banyak anak lain yang bernasib serupa dengannya—ditinggalkan oleh ayah mereka tanpa nafkah, dan harus berjuang untuk bertahan hidup. Zora merasa bahwa suaranya bisa menjadi kekuatan bagi mereka.
Pada suatu seminar tentang hak anak yang diadakan di kampus, Zora berkesempatan untuk berbicara. Dengan keberanian yang dia kumpulkan selama bertahun-tahun, dia menceritakan pengalamannya di depan audiens.
“Kita sering lupa bahwa seorang anak berhak atas perhatian, kasih sayang, dan dukungan finansial dari orang tua mereka, terutama ayah. Saya di sini berdiri sebagai bukti bahwa meskipun hak-hak itu diabaikan, kita tetap bisa bangkit. Tapi kita tidak boleh tinggal diam. Kita harus memperjuangkan hak kita, karena masa depan kita adalah tanggung jawab kita, meskipun orang tua kita mungkin telah mengecewakan kita.”
Kata-katanya menggema di ruangan, menarik perhatian banyak peserta seminar. Mereka mendekatinya, berterima kasih karena telah membahas isu yang jarang dibicarakan. Zora merasa, untuk pertama kalinya, hatinya mulai sembuh. Meskipun tak bisa mengubah masa lalu, ia menyadari bahwa ia bisa sedikit membantu orang lain yang mengalami hal serupa.
Malam itu, Zora kembali menatap langit. Bintang-bintang yang dulu terlihat suram kini tampak lebih terang. Mungkin langit tanpa bintang adalah masa lalunya, tapi dia yakin, masa depan akan penuh dengan cahaya yang dia ciptakan sendiri.
_Ruby
