Di tengah gempuran media sosial, standar kecantikan rasanya semakin tidak manusiawi. Banyak dari kita, terutama mahasiswa, terjebak dalam perlombaan tak kasat mata untuk tampil sempurna, memenuhi standar yang ditentukan oleh filter, editing, dan tren kecantikan sementara. Akibatnya, muncul fenomena overthinking terhadap penampilan. Alis harus simetris, tubuh ideal, kulit tanpa noda – standar yang sering kali tidak realistis dan sulit dicapai tanpa teknologi atau produk mahal. Namun, di sinilah konsep body positivity dan self-acceptance menjadi sangat relevan. Gerakan body positivity mengajarkan kita untuk menerima tubuh apa adanya, mengingatkan bahwa kecantikan itu beragam, dan setiap bentuk tubuh layak dihargai. Self-acceptance, lebih dalam lagi, mengajak kita untuk menghargai diri sendiri tanpa perlu mengubah fisik sesuai selera orang lain. Bahwa tubuh kita tidak wajib mengikuti definisi “cantik” yang sedang tren, melainkan cukup berfungsi dan sehat.
Sayangnya, meskipun banyak mahasiswa paham akan konsep ini, praktiknya tak semudah teori. “Body positive” sering terhenti sebagai hashtag di Instagram, sedangkan dalam kenyataannya, kita masih sering berjuang dengan komentar negatif atau standar-standar yang terbentuk dari postingan orang lain. Bagi sebagian mahasiswa, self-acceptance justru menjadi tantangan karena ketidakmampuan untuk lepas dari ekspektasi yang sudah tertanam sejak lama. Namun, justru karena kita hidup di era ini, kita memiliki tanggung jawab lebih besar untuk menerapkan dan memperjuangkan body positivity dan self-acceptance. Mahasiswa punya kekuatan untuk menjadi agent of change dalam mengubah persepsi bahwa kecantikan bukan hanya soal penampilan fisik. Jika kita bisa mulai dari diri sendiri – dengan menghapus pikiran “aku harus seperti mereka” – kita secara perlahan bisa menciptakan lingkungan yang lebih positif.
Pada akhirnya, pertanyaan penting yang perlu kita renungkan adalah: siapa sebenarnya yang kita puaskan dengan segala tekanan ini? Apakah tujuan kita hidup hanya untuk memenuhi ekspektasi yang dibentuk orang lain, atau kita punya pilihan untuk menemukan kebahagiaan dari dalam diri sendiri? Standar kecantikan yang terus berubah di media sosial sering kali membuat kita merasa kurang dan terjebak dalam siklus tak berujung untuk “lebih baik” dan “lebih sempurna.” Padahal, mengikuti standar yang terus bergeser ini hanya membuat kita lelah dan merasa tidak cukup baik. Sudah saatnya kita, sebagai mahasiswa, mulai lebih jujur dengan diri sendiri. Menjadi lebih realistis dan mulai melihat keindahan dari perspektif yang lebih luas – bukan sekadar bentuk fisik atau popularitas semu di dunia maya. Setiap orang punya ciri unik dan kelebihan masing-masing yang tak bisa dibandingkan begitu saja dengan standar digital. Dengan belajar menerima diri dan menghargai keunikan ini, kita bisa membangun kebahagiaan yang lebih autentik, yang tidak bergantung pada jumlah “likes” atau komentar orang lain.
Mulailah berhenti membandingkan diri dengan orang lain atau mengejar validasi yang belum tentu relevan bagi kita. Daripada sibuk memenuhi standar kecantikan yang tidak nyata, fokuslah pada hal-hal yang membuat kita merasa bahagia dan damai. Jalani hidup dengan lebih tulus, karena pada akhirnya, hidup adalah tentang menemukan kepuasan dalam versi terbaik dari diri kita sendiri, bukan menjadi salinan dari harapan orang lain.
_Aurellia