Di tengah bising hiruk-pikuk dan naik turunnya perekonomian, para buruh lepas di Pasar Gede seperti pedagang, kuli panggul, dan tukang becak terus berjuang mencukupi kebutuhan sehari-hari. Perkembangan teknologi, dan bergesernya gaya hidup membuat pekerjaan mereka semakin terpinggirkan. Dulunya, mereka mengandalkan sepeda untuk berjualan, namun kini banyak yang beralih menggunakan motor. Selain itu, interaksi langsung dengan pembeli yang biasanya terjadi, kini bisa digantikan dengan jasa ojek online untuk mengantarkan barang yang dipesan.
Di sudut pasar yang ramai, Mbah Nah, seorang kuli gendong berusia 83 tahun asal Mojosongo merupakan contoh nyata dari ketahanan saat ini. “Saya mulai bekerja di pasar sejak kecil untuk membantu orang tua,” ujar Nah (19/4). Peluh membasahi dahinya saat ia memanggul barang dagangan para pedagang. Penghasilannya memang tak menentu, bervariasi kisaran 200 hingga 300 ribuan tergantung ramainya pelanggan yang datang menghampirinya. “Dulu uang 200-300 ribu dapat mencukupi kebutuhan, tetapi sekarang jumlah itu terasa tidak berarti,” ujar Nah yang menggambarkan pergeseran nilai mata uang yang cukup signifikan.
Matahari mulai meninggi tak menyurutkan semangat Nah untuk terus menawarkan jasanya. Ia juga tak luput dari kerasnya persaingan antar pedagang. “Di sini, jumlah pedagang sangat banyak, terutama di bidang makanan. Kita harus berjuang keras untuk menarik minat pembeli,” ujar Nah. Meski menghadapi berbagai rintangan, ia tetap mencintai pekerjaannya dan merasa bangga dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat. Untungnya, di Pasar Gede ini, tidak ada praktik pemalakan terhadap pedagang kaki lima seperti yang sering terjadi di pasar-pasar lainnya mereka menggunakan kartu pasar sebagai izin untuk berdagang di sekitar area pasar.
Di bawah terik panasnya matahari, cerita perjuangan juga datang dari Narto, tukang becak asal Jajar yang sekarang usianya 69 tahun. Sudah lebih dari 40 tahun beliau mengayuh becak, sejak tahun 1983. Sebelum itu, Narto sempat berkecimpung di dunia batik. Tapi setelah usaha batik mulai sepi, beliau akhirnya memilih jadi tukang becak dan menjadikan profesinya hingga saat ini.
Narto menceritakan bahwa, dulu pendapatan dari menarik becak mampu membiayai pembangunan rumah dan pendidikan anak-anaknya. Namun saat ini, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja terasa berat. Salah satu faktor penyebabnya adalah banyaknya ojek online yang menjadi pesaing di bidangnya. “Penghasilan saat ini sangat tidak menentu kemarin saya mendapatkan 70 ribu, hari ini hanya 50 ribu, bahkan terkadang saya tidak mendapatkan apa-apa,” ungkap Narto (19/4). Dalam sekali menarik becak, biasanya ia mendapatkan upah sekitar 15 ribu untuk mengantar penumpang ke lokasi-lokasi dekat seperti Klewer, Keraton, atau Balapan.
Meskipun saingannya semakin banyak, Narto tetap bertahan untuk menarik becak. Selain karena merasa nyaman, faktor usia jadi alasannya. “Karena sudah tua, sudah nggak bisa kerja berat. Becak itu menurut saya pekerjaan paling enak dan fleksibel,” ujar Narto sambil tersenyum. Sekarang, istri dan anak-anak Narto lebih fokus berjualan di rumah. Sementara beliau biasanya menarik becak dari pagi hingga siang, khususnya saat hari libur atau akhir pekan. Hari-hari biasa, beliau lebih banyak istirahat di rumah.
Ketika ditanya mengenai masa depan becak, Narto yakin becak tidak akan punah. “Becak itu udah jadi ciri khas sejak zaman Belanda,” kata Narto. Meski demikian, beliau tak memungkiri bahwa, sekarang mencari penumpang makin susah. Banyak orang lebih memilih jalan kaki untuk jarak tempuh yang dekat daripada naik becak. Banyak juga diantara mereka yang memilih untuk menggunakan jasa ojek online untuk pergi dengan jarak dekat maupun jauh karena biayanya yang relatif lebih murah. Di tengah berbagai keterbatasan, kisah Nah dan Narto mencerminkan betapa hebatnya persaingan di sektor perdagangan dan transportasi. Seiring berjalannya waktu, perkembangan zaman semakin mengancam keberadaan pedagang dan sistem transportasi tradisional.
_Dyah_Fadel_Sofi