Sebagai mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS), saya makin menyadari bahwa pendidikan di Indonesia tidak pernah benar terlepas dari dinamika politik. Setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, khususnya dalam bidang pendidikan, sering kali lebih sarat dengan kepentingan politik daripada benar berorientasi pada pendidikan. Hal ini membuat masa depan pendidikan di Indonesia terasa makin tidak menentu, termasuk bagi kami, calon guru yang sedang menempuh pendidikan demi mengabdi kepada negeri.
Salah satu isu yang menjadi perhatian saya adalah penundaan seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), termasuk formasi guru tahun 2025. Sebelum pengumuman resmi dikeluarkan, isu ini ramai beredar dengan berbagai spekulasi. Ada yang mengatakan bahwa formasi guru akan ditiadakan, sementara yang lain menyebut dikurangi. Ketidakjelasan informasi ini menimbulkan keresahan bagi mahasiswa FKIP seperti saya, yang berharap bisa memperoleh kepastian setelah lulus. Bayangan untuk mendapat pekerjaan sebagai guru makin samar, sementara kebutuhan tenaga pendidik di lapangan justru makin mendesak.
Di sisi lain, kondisi guru honorer juga makin memprihatinkan. Banyak dari mereka yang telah dinyatakan lulus dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), tapi hingga kini belum mendapatkan penempatan yang jelas. Mereka sudah bertahun-tahun mengabdi dengan gaji minim, berharap seleksi PPPK menjadi jawaban atas ketidakpastian status mereka. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, setelah dinyatakan lolos seleksi, mereka masih harus menunggu tanpa kejelasan kapan dan di mana akan ditempatkan. Situasi ini makin menunjukkan betapa lemahnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru, padahal guru adalah pilar utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ironisnya, meskipun anggaran pendidikan dalam APBN tahun ini mengalami peningkatan, alokasi untuk belanja pegawai, termasuk pengangkatan guru, justru dipotong dengan alasan efisiensi. Keputusan ini mengundang pertanyaan besar, apakah pendidikan benar-benar menjadi prioritas, ataukah hanya menjadi sektor yang selalu dikorbankan demi kepentingan anggaran negara? Dalam setiap pidato dan janji politik, pendidikan selalu disebut sebagai investasi masa depan bangsa, tapi kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan kerap harus mengalah.
Lebih menyedihkan lagi, janji-janji mengenai pendidikan gratis dan peningkatan kesejahteraan guru biasanya hanya bergema saat musim pemilu. Setelah pesta demokrasi usai, janji-janji tersebut perlahan menghilang, tergantikan oleh kebijakan yang tidak berpihak pada tenaga pendidik maupun mahasiswa calon guru. Pendidikan harusnya tidak menjadi alat politik yang digunakan untuk meraih suara, melainkan harus benar dikelola dengan serius demi masa depan bangsa.
Sebagai mahasiswa FKIP, saya berharap pemerintah tidak lagi mempermainkan sektor pendidikan dengan kebijakan yang tidak konsisten dan tidak berpihak pada guru serta calon guru. Kami bukan hanya ingin menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar, tapi juga memiliki masa depan yang jelas sebagai tenaga pendidik. Kejelasan terkait perekrutan guru, peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik, serta kebijakan pendidikan yang beorientasi pada kualitas harus menjadi prioritas utama. Pendidikan bukanlah komoditas politik yang dipertaruhkan setiap lima tahun sekali, tetapi merupakan fondasi utama dalam membangun bangsa yang lebih maju.
Saya harap ke depannya kebijakan pendidikan lebih berpihak pada guru dan calon guru, bukan hanya sekadar angka dalam laporan atau wacana yang terus digaungkan tanpa realisasi. Jika pendidikan terus dikesampingkan demi kepentingan politik, bagaimana kita bisa berharap memiliki generasi yang berkualitas di masa depan? Sudah saatnya pemerintah lebih serius dalam mengelola pendidikan, karena pendidikan adalah investasi jangka panjang yang manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh satu generasi, tetapi oleh seluruh bangsa.
_Mei