Anak Cangkul di Kota Besar

Bagian 1: Warisan dari Tanah
Ayahku bukan orang besar. Ia tak punya ijazah tinggi, apalagi tanah luas. Tapi ia punya satu benda yang tak pernah lepas dari genggamannya: cangkul. “Ini senjataku,” katanya suatu sore sambil menghapus peluh. “Dengan ini, aku bisa beri makan kalian. Dengan ini pula aku tetap jadi manusia merdeka.”

Aku Suro lahir dari keluarga petani penggarap. Tiap pagi bau lumpur dan suara kodok dari pematang sawah jadi irama rumah. Kami miskin, tapi tidak malu. Ayah sering bercerita tentang seorang petani yang ditemui Bung Karno dulu Marhaen, namanya. Dari cangkul dan tekad Marhaen, lahir ajaran tentang keadilan, kerja keras, dan kedaulatan rakyat.

“Jangan jadi jongos di tanah sendiri,” kata ayah suatu malam. Kata-katanya seperti api kecil yang membakar pelan tapi terus menyala di dada.

Bagian 2: Ransel dan Harapan
Hari aku pamit ke kota, ibu menyelipkan uang seratus ribu di sela bajuku, dan ayah memberiku buku tua kumpulan pidato Bung Karno yang disampul plastik. “Pegang ini kuat-kuat. Ilmu di kampus bisa membawamu tinggi, tapi ini yang bikin kakimu tetap menginjak tanah.”

Aku tiba di kota besar dengan ransel robek dan mata penuh harapan. Di terminal, semua serba cepat. Orang-orang berjas lewat tanpa menoleh. Aku menginap di masjid kampus dua malam sebelum akhirnya dapat kos murah di belakang pasar.

Di sana, aku mulai hidup baru. Antara kuliah, kerja sambilan, dan belajar larut malam. Aku kira kota akan memelukku seperti desa, tapi ternyata kota hanya menyambut siapa yang punya uang.

Bagian 3: Kampus dan Kemunafikan
Kampusku megah. Gedung-gedung tinggi, taman tertata, mahasiswa rapi dan wangi. Tapi semakin lama aku di sana, semakin aku sadar: semuanya cuma etalase. Organisasi mahasiswa dipenuhi anak pejabat. Diskusi politik hanya jadi alasan nongkrong di kafe. Mereka bicara soal rakyat, tapi tak pernah menyentuhnya.

Aku mulai gelisah. Di perpustakaan, aku membaca ulang teks-teks pidato Bung Karno. Aku menulis artikel pendek tentang petani yang digusur karena proyek kampus. Tulisanku dimuat di buletin mahasiswa, dan sejak itu aku mulai dikenal oleh sebagian sebagai idealis, oleh sebagian lain sebagai ancaman.

Bagian 4: Suara dari Bawah
Tak semua menertawakanku. Beberapa mahasiswa dari keluarga nelayan, buruh, dan petani mengajakku bertemu. Kami buat lingkar kecil, diskusi malam hari di pelataran masjid, di pojok kantin, bahkan di warung kopi murahan.

Kami bicara tentang tanah, tentang kota, tentang ketimpangan. Bukan teori kosong, tapi hidup yang kami jalani. Perlahan, forum itu tumbuh. Bukan karena kami hebat, tapi karena ada yang benar-benar ingin mendengar.

Aku tak ingin jadi pemimpin. Aku hanya ingin jadi suara-suara Marhaen yang sering dibungkam.

Bagian 5: Ancaman dan Kesepian
Namaku makin disebut. Sebuah artikelku berjudul ‘Kampus untuk Siapa?’ menyentil pejabat kampus dan viral di media sosial. Esoknya, aku dipanggil dosen pembimbing.

“Kau anak cerdas, Suro. Tapi suara terlalu keras bisa merusak masa depan.”

Aku hanya tersenyum. “Saya cuma ingin menyampaikan yang Bapak tak bisa.”

Beasiswaku dicabut diam-diam. Organisasi tak mau menerimaku lagi. Teman-teman menghindar. Bahkan pemilik kos memintaku pindah. Aku sendirian. Miskin, lapar, marah.

Aku pulang ke desa. Duduk di samping ayah, memandang sawah yang kini makin sempit.

“Kau menyerah?” tanya ayah pelan.

Aku menggeleng. “Tidak, Yah. Aku cuma perlu ingat dari mana aku datang.”

Bagian 6: Anak Cangkul Tak Mati
Aku kembali ke kota dengan semangat baru. Tak berharap apa-apa dari kampus. Aku mulai mendekat ke buruh pabrik dekat stasiun, ke pedagang kaki lima yang kerap digusur. Bersama mahasiswa lain yang tertindas, aku bentuk Forum Marhaen Muda. Kami tak banyak, tapi kami jujur. Kami tak punya uang, tapi punya suara.

Kami adakan diskusi publik, bantu advokasi warga, menulis pamflet yang ditempel sembunyi-sembunyi. Kampus gerah. Polisi mulai hadir di acara kami. Tapi kami tak takut. Kami tak sedang mencari musuh—kami hanya tak ingin terus diam.

Aku belajar bahwa perubahan tak harus besar. Tapi harus tulus. Seperti cangkul: kecil, sederhana, tapi kalau terus digerakkan, bisa membelah tanah keras.

Bagian 7: Jejak di Batu
Tahun berganti. Aku lulus tanpa seremoni. Tak ada nama Suro di buku sejarah kampus, tak ada piala di lemari organisasi. Tapi di kantin belakang yang nyaris roboh, anak-anak baru sering duduk mengelilingi tembok tua.
“Cangkul bukan hanya alat bertani. Ia adalah senjata untuk menggali keadilan.”
Suro, anak dari tanah.

Mereka tak tahu siapa aku. Tapi mereka membaca. Dan mungkin suatu hari, mereka juga akan menggenggam cangkul dengan cara mereka sendiri.

Nd_

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *