“Ck, dasar! Mereka selalu saja terlambat,” gerutuku saat menyadari bahwa baru diriku yang sampai di halte tempat janjian kami sore ini.
Sembari menghela napas, aku menuntun sepedaku dan memarkirkannya tepat di samping halte depan Toko Roti Umi yang selalu menjadi langganan kami. Setelah memastikan sepedaku terparkir dengan baik, aku mendudukkan diri di halte tersebut. Halte di sore hari ini terlihat sangat ramai, di depanku terlihat beberapa anak SMA yang sedang bercanda satu sama lain. Di sampingnya ada beberapa pegawai kantoran yang tertidur menunggu bus terakhir datang di hari ini. Saat aku masih fokus memandangi sekitar, handphone yang sedari tadi masih kupegang berbunyi.
Drttt drrtt
Melihat nama Aruna muncul di layar ponselku, tanpa berpikir panjang aku mengangkat panggilan itu dengan segera.
“Halo Ar, kenapa? Aku udah sampai nih, kamu dimana?” tanyaku beruntun saat panggilan sudah tersambungkan.
“TATAAA BAN GUA BOCOR!”
“Haishh diam tua bangka, haloo?! Halo Kak Tata!” aku mengernyit saat mendengar suara Aldo yang sangat berisik di seberang sana.
“Iya Ar, itu kamu sama Aldo yaa?” tanyaku.
“Iyaa huhuhuhu, berisiknya pasti kedengeran ya!”
“Eh enak aja lo bogel.”
“Syutttt berisik deh, Kak aku sama Aldo telat yaa. Ini bannya si Aldo bocor, kita masih di depan perumahan. Aldo sih kebanyakan dosa, jadi bocor begini.”
“Eh, lama-lama ngeselin ya lo, siniin HP nya!” sahut Aldo di seberang sana.
“Halo halo Taa, ini gua Aldo. Ban gua bocor ini masih di taman sari, masih nunggu Bang Mamat dateng. Kayaknya bakalan lama, lo jalan-jalan dulu dah di sekitar situ atau nunggu Vivi. Dia bilang udah otw tadi.”
Aku tertawa mendengar pertengkaran Aldo dan Aruna di seberang sana.
“Yee bogel dua malah ketawa, gimana heh,” sahutnya.
“Hehehe, iyaa udah gapapa, aku nunggu Vivi aja disini. Malas jalan-jalan juga, mau nyimpen energi buat nanti,” jawabku sambil masih sedikit tertawa.
“Oke oke, sekitar setengah jam gua sampai kayaknya. Gua tutup yaa.”
“BYE KAK TATA!”
Tutttt
Panggilan itu pun terputus. Aku menggelengkan kepala, heran dengan tingkah kakak adek satu itu. Setelah menyimpan kembali ponselku ke dalam tas selempang yang sedari tadi aku kenakan, aku kembali melihat suasana di sekitar halte yang sudah mulai sepi. Hanya tersisa diriku dan seseorang yang nampaknya tertidur di pojokan halte.
Aku kembali menghela napas panjang. Hari ini adalah hari yang berarti bagi kami. Aku, Aldo, Aruna, dan Vivian akan mengosongkan jadwal dari segala kegiatan untuk berkumpul dan menghabiskan waktu dengan bersepeda. Bukan tanpa alasan kami rutin berkumpul di minggu ketiga bulan Juni setiap tahunnya.
Reynaldi, iya alasan kami adalah Reynaldi. Kakakku yang meninggal tiga tahun lalu dalam kecelakaan lomba balap sepeda di Bandung kala itu. Kakakku pergi meninggalkan luka mendalam bagi kami semua.
“Oi Ta!” panggil seseorang sambil menepuk pundakku hingga menyadarkanku dari lamunan.
“Eh Vi, maaf aku ngelamun ya tadi,” jawabku sedikit merasa tidak enak.
“Gapapa,” ucapnya sambil mengambil duduk di sampingku.
Aku menggeser tubuhku agar ada ruang yang cukup untuk dia duduk di sampingku, setelahnya aku memperhatikan Vivian yang terlihat sedang mengambil sesuatu dalam tasnya. Mataku membola saat mengetahui barang yang dikeluarkan Vivian.
“Vi, ini?” tanyaku kepadanya guna memastikan apakah benar itu benda yang aku lihat.
“Iyaa,” jawabnya lalu terlihat mengambil napas dalam.
“Sebelum perlombaan dimulai, Reynal nitipin jepit rambut ini ke aku. Katanya mau dikasih ke kamu kalau dia menang lomba waktu itu,” jelasnya sambil menatap kosong jalanan sore itu.
“Selama ini aku simpan jepit rambut itu bersama barang-barang yang diberikan Reynal. Maaf Ta, maaf terlambat ngasih jepit rambut itu ke kamu. Aku…aku terlalu takut membuka barang yang berhubungan dengan dia selama tiga tahun ini. Aku biarkan semua tersimpan rapi di kotak,” jelasnya kembali. Ia menolehkan wajahnya kearahku. Mata yang dulunya memancarkan binar bahagia, sekarang melihatku dengan tatapan sedih yang mendalam.
Aku menatapnya nanar, lalu memeluknya.
“Gapapa, kamu juga pasti melewati banyak hal sulit setelah kepergian kakak,” ucapku sambil mengelus bahunya pelan.
“KAK TATAA, KAK VIVI!!” teriakan dari seberang jalan menyadarkan kami berdua. Aku melepaskan pelukanku dari Vivian yang masih terlihat sesenggukan akibat menangis.
“Gaperlu merasa bersalah Vi. Jepit rambut ini, aku berterima kasih kamu telah menjaganya selama ini,” kataku sambil memakai jepit rambut itu di rambutku.
“WOI KALIAN BUDEK YAAA! AYO SEBELUM SENJAA! NANTI KITA SAMPAI KE REYNAL MALAM LAGI, OGAH GUA KE MAKAM MALAM MALAM!” teriak Aldo yang membuatku dan Vivian terkekeh.
“Ayo Vi, si tua bangka itu udah ngamuk,” ajakku sembari mengambil sepeda yang terparkir. Selanjutnya, kami beranjak menghampiri sepasang kakak adek itu yang terlihat sudah beradu mulut di seberang jalan.
_Rahma