Kenangan dalam Sepasang Mata Hijau

Hujan deras mengguyur sore itu, membasahi jalan setapak di taman depan rumah Sarah. Di bawah rintik hujan, ia memandangi tanaman hias yang mulai tersiram derasnya hujan. Ia menghela napas panjang sambil duduk di teras dengan secangkir teh panas. Namun, suara meongan kecil tiba-tiba memecah kesunyian.

Sarah menoleh, mencari sumber suara. Di bawah semak belukar yang lebat, seekor anak kucing berbulu oranye kurus terlihat menggigil. Tubuhnya basah kuyup, dan matanya yang hijau menatap Sarah dengan lemah. Sarah berjongkok, mencoba mendekatinya tanpa membuatnya lari.

“Tidak apa-apa, sini… aku tidak akan menyakitimu,” bisik Sarah sambil mengulurkan tangan. Kucing itu tidak bergerak, terlalu lemah untuk berlari. Dengan hati-hati, Sarah membungkusnya dengan jaketnya dan membawanya masuk ke rumah.

Di rumah, ia segera mengeringkan tubuh kucing itu dengan handuk hangat. Anak kucing itu mengeong kecil, seperti berterima kasih. Sarah tersenyum. “Kamu akan baik-baik saja sekarang,” ujarnya. Ia memutuskan memberi nama kucing itu Momo.

Hari-hari berikutnya, Momo mulai pulih. Awalnya, ia hanya duduk diam di sudut ruangan, tampak waspada. Tapi perlahan, ia mulai menunjukkan rasa percayanya. Momo sering mengekor Sarah ke mana pun ia pergi, dari dapur hingga ruang tamu. Saat Sarah membaca buku di sofa, Momo melompat ke pangkuannya dan meringkuk, mendengkur pelan.

Momo juga membawa kehangatan di tengah kesepian Sarah. Ia hanya tinggal ber dua dengan Ibunya setelah 2 tahun yang lalu ayahnya tiada, dan ibunya terlalu sibuk untuk bekerja  ini membuat hari-hari Sarah terasa sunyi, tetapi Momo mengisi kekosongan itu. Setiap pagi, ia membangunkan Sarah dengan belaian cakarnya. Setiap sore, mereka duduk di teras bersama, menikmati cahaya senja.

Namun, kebahagiaan itu tak bertahan selamanya.

Pagi itu, Sarah bangun dengan firasat buruk. Biasanya, Momo sudah ada di sisi ranjang, mengeong pelan meminta sarapan. Tapi pagi itu, tempat tidur kosong.

“Momo?” Sarah memanggil sambil berjalan ke dapur. Tidak ada suara. Ia memeriksa di bawah sofa, di balik tirai, bahkan di dalam lemari. Momo tidak ada di mana-mana.

Hati Sarah mulai gelisah. Ia keluar ke halaman, memanggil nama Momo. Tetangga yang sedang menyapu halaman berhenti sejenak. “Momo hilang?” tanya tetangganya.

Sarah mengangguk, mencoba menahan rasa panik. Ia mulai berjalan menyusuri jalanan, memanggil nama Momo di sepanjang gang-gang kecil. Hari itu, ia mencetak poster sederhana dengan foto Momo, menempelkannya di tiang-tiang listrik dan membagikannya kepada tetangga.

Hari berubah menjadi minggu, tapi Momo tidak pernah kembali.

Setiap malam, Sarah duduk di ruang tamu, memandangi pintu depan dengan harapan pintu itu akan terbuka dan Momo akan masuk seperti biasa. Tapi malam-malam itu hanya membawa sunyi.

Ia mencoba mengisi waktu dengan kesibukan, tetapi setiap benda di rumah mengingatkannya pada Momo. Mangkok makan yang masih tersisa di dapur, tempat tidur kecil di sudut ruangan, bahkan bau samar dari bulu Momo yang masih tertinggal di selimut membuat dadanya sesak.

Waktu berlalu, dan Sarah perlahan belajar menerima kepergian Momo. Suatu hari, saat ia membersihkan gudang, ia menemukan sebuah kotak kecil berisi barang-barang milik Momo yang mungkin telah di simpan oleh ibunya.

Tangannya gemetar saat memegang barang-barang itu. Air matanya jatuh, tapi kali ini ia tersenyum. “Momo, terima kasih sudah menemani aku,” bisiknya.

_Ilm

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *