Beberapa waktu terakhir jagad maya dihebohkan dengan munculnya sebuah lembaga pengelola investasi yang berstatus sebagai badan hukum publik di bawah pemerintah Indonesia. Presiden terpilih ke-8 Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada 21 Februari 2025 di Istana Merdeka sebagai instrumen pembangunan yang bertujuan untuk mengoptimalkan aset negara dengan harapan dapat menciptakan nilai tambah yang signifikan, menghasilkan peluang kerja yang layak dalam jumlah besar, serta menciptakan kemakmuran yang akan berjangka panjang bagi masyarakat Indonesia.
Dengan total aset awal lebih dari USD900 miliar, pembentukan Danantara berpedoman pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) untuk memastikan bahwa seluruh kekayaan nasional benar-benar akan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan Danantara secara langsung akan dibina oleh Presiden Prabowo sebagai penanggung jawab, mantan presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, dan mantan presiden ke-7 Joko Widodo sebagai dewan penasihat serta beberapa struktur lain di bawahnya.
Terbentuknya kebijakan baru dari pemerintah tentunya menuai pro dan kontra dari mayarakat. Beberapa pihak seperti pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendukung dan menyambut baik pembentukan kebijakan tersebut dengan memandang Danantara sebagai peluang untuk memperkuat ekosistem BUMN serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah optimis bahwa Danantara nantinya mampu mengurangi kondisi tidak efisien, korupsi serta tumpang tindih fungsi. Namun, dukungan tersebut juga kontras dengan kekhawatiran dari masyarakat Indonesia terkait transparansi dan adanya resiko penyelewengan pada lembaga tersebut.
Danantara dikhawatirkan menciptakan peluang untuk korupsi serta penyalahgunaan aset karena pengawasannya dianggap lemah. Kritik ini muncul karena adanya pernyataan bahwa Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak diberikan kewenangan untuk melakukan upaya audit tanpa persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga masyarakat khawatir akan adanya penyalahgunaan aset negara. Hal lain yang memunculkan kontra terkait kebijakan tersebut adalah adanya keterlibatan tokoh kontroversial seperti Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang pernah tersandung kasus korupsi, serta adanya keterlibatan pihak asing dalam struktur dan kepemimpinannya. Selain itu, aturan yang tidak jelas dan tidak transparan juga memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap tata kelola dari Danantara.
Hingga kini, Maret 2025, Danantara masih dalam tahap penyusunan operasional. Revisi Undang-Undang BUMN (UU No. 1 Tahun 2025) serta peraturan pendukung lainnya terkait Danantara belum sepenuhnya disampaikan secara transparan kepada publik, sehingga masyarakat masih mempertanyakan sistem dan juga dampak jangka panjang dari pembentukannya.
Danantara menjadi impian bersama yang tentunya diharapkan dapat berjalan dengan lancar. Kerja sama antara pemerintah dan masyarakat menjadi suatu hal yang dengan cepat akan membuat impian itu menjadi kenyataan. Oleh karena itu, perlunya upaya pemerintah untuk bertanggungjawab serta menjaga kepercayaan dari masyarakat, transparansi menjadi aspek penting yang tidak boleh diabaikan. Masyarakat berhak mengetahui dan mendapatkan informasi mengenai tata kelola dan dampak adanya lembaga ini terhadap pembangunan ekonomi nasional serta aspek lainnya. Dengan adanya kolaborasi dan keselarasan antara pemerintah dan masyarakat, negara Indonesia dapat mencapai ekosistem investasi yang terbuka, keberlanjutan, serta bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
_Qisti Sahilah